Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuahepisode infotainment setiap hari. Ketika aib seseorang ditunggu-tungguribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa. Ketikaseorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luarpernikahan yang sah sebagai ajang sensasei yangditunggu-tunggu ...’siapa calon bapak si jabang bayi?’Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yangbelum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur,berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya yaseperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampaitidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.Wuiiih...... ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu,sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnyaapapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohonmaaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalahkesenangan.Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng updatestatusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atausengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga,menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :*Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknyangapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelakidan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mauditemanin? Dijamin puas deh...”*Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua,biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen2 nakalbermunculan. ..*Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”,----kemudian komen2 pelecehan bermunculan*Ada pula yang komen di wall temannya “ eeeh ini si anu ya ...., yangdulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....”----lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis*Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamunih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh2 komendatang*Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”*Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pakedalaman lagi nih”*Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komendari lainnyaDan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita,telinga kita, bahkan pikiran kita.Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakanhilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-halyang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.*Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj diupload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah ragamemakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalamfoto tersebut sudah berjilbab*Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudahberubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saatdulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria....*Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnyadulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanitatelah berkeluarga dan hidup dengan tenangRasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintaiAllah...., yaitu Muhammad, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yangsangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketikaRasulullah bertanya pada Aisyah “ Wahai Aisyah apa yang dapat sayamakan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merahAisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yangdapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata“baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwatidak ada makanan di rumah rasulullah.. ..Ingatlah Abdurahman bin Auf mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekahke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dansebagian rumahnya, maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan sajasaya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaanhidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimananseseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, “Malu itu sebahagian dariiman”. (Bukhari dan Muslim).Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yangmelindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diridan keluarga.Dan Rasulullah menegaskan dengan sindiran keras kepada kita “Apabilakamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari). Arogansikesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkitkembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yangsemestinya dibuang saja atau disimpan rapat.Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakancahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allahkemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahayailahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuhsenyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu,mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita,simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’membuat Iffah kita luntur tak berbekas.Sumber FTJAI
November 03, 2009
Kiat Praktis Menjadi Orang Terpercaya
MEMBANGUN KREDIBILITASKiat Praktis Menjadi Orang Terpercaya (3/3)Oleh. K.H. Abdullah Gymnastiar" Aku Harus Inovatif "- Aku menyadari bahwa segala sesuatu yang ada akan berubah, di dunia initidak ada satu pun yang tidak berubah, satu-satunya yang tetap adalahperubahan itu sendiri. Maka Aku siapkan diri untuk mengikuti perubahan,karena jikalau aku tidak bisa mengimbanginya, akan tergilaslah Aku olehperubahan itu.- Amatlah rugi bagiku jika hari kemarin sama dengan hari ini, celakalah akuapabila hari ini lebih buruk dari kemarin, ini berarti aku akan tertinggaljauh dan sulit mengejar orang lain yang komit dengan perubahan.- Untuk bisa inovatif aku senantiasa banyak membaca dan menulis, sehinggakumiliki perpustakaan pribadi, kusediakan dana untuk membeli bahan bacaan,dan kuluangkan waktu untuk membacanya.- Akupun harus banyak berdiskusi dan membaca, caranya dengan kucari dankumiliki banyak teman dari berbagai disiplin ilmu dan kubiasakan untukterus mendapatkan masukan, baik dengan bertanya atau mendengarkan. Dankuusahakan pula memiliki progaram silaturahim secara berkala dan terpola,sehingga perkembangan kemampuanku akan semakin terukur.- Akupun harus banyak melihat dan mengadakan studi banding (benchmark).Kunjunganku baik resmi ataupun tidak adalah ketempat yang dapat menambahwawasan, memancing inspirasi, membuka visi baru, yang pasti nuansa-nuansabaru akan sangat membantu membangkitkan potensi yang lama terpendam.- Kemuliki waktu luang untuk merenung dan bertafakur tanpa mengganggukegiatan rutinku. Kucari tempat yang nyaman, kupilih waktu yang tepat.Bagiku sebagai Ummat Islam, ALLOH telah menyediakan tempatnya yaitutahajjud, dengan simbahan air wudlu, kemudian sujud dan menyerahkan diri.Hal ini berdampak sekali bagiku dalam pengevaluasian langkah yang lebih tepat ke depan.- Akupun harus banyak berbuat dan mencoba. Ku tidak pernah takut untukmencoba. Guru terbaik bagiku adalah pengalaman.- Akupun harus banyak beribadah dan berdoa. Aku sadar bahwa penguasa segalasesuatu adalah ALLOH Azza wa Jalla.- Sungguh kapanpun akan mati aku telah siap dengan segala sesuatunya setelahaku berusaha mempersembahkan yang terbaik untuk ALLOH, insyaallah semoga apayang telah kulakukan DAPAT BERMAKNA BAGI DUNIA dan BERARTI AKHIRAT NANTI.
Matematika Gaji dan Logika Sedekah
Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.
Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.
"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.
"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?".
"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
***
Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.
Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.
"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.
"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?".
"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
***
Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
Keagungan Sang Ibunda
Ibu melahirkan kita sambil menangis kesakitan. Masihkah kita menyakiti- nya? Masih mampukah kita tertawa melihat penderitaan- nya? Mencaci maki-nya? Melawan-nya? Memukul-nya? Mengacuhkan- nya? Meninggalkan- nya? Ibu tidak pernah mengeluh membersihkan kotoran kita waktu masih kecil, Memberikan ASI waktu kita bayi, Mencuci celana kotor kita, Menahan derita, Menggendong kita sendirian. Disaat ibumu tidur, coba kamu lihat matanya dan bayangkan matanya takkan terbuka untuk selamanya..tangannya tak dapat hapuskan air matamu dan tiada lagi nasihat yang sering kita abaikan..bayangkan ibumu sudah tiada..apakah kamu cukup membahagiakannya. .apakah kamu pernah berfikir bertapa besar pengorbanannya semenjak kamu berada di dalam perutnya...kirim pesan ini pada semua...itupun kalau kamu sayang ibumu dan mau mengingatkan teman2mu Ingat-ingatlah lima aturan sederhana untuk menjadi bahagia: 1. Bebaskan hatimu dari rasa benci. 2. Bebaskan pikiranmu dari segala kekuatiran. 3. Hiduplah dengan sederhana. 4. Berikan lebih banyak (give more) 5. Jangan terlalu banyak mengharap (expect less) SADARILAH bahwa di Dunia ini tidak ada 1 orang pun yang mau mati demi IBU, t eta pi...Beliau justru satu-satunya orang yang bersedia mati untuk melahirkan kita…Kirimkan ke 10 orang agar IBU KITA PANJANG UMUR
Numpang Surat : Loading
Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicaradi depan sekelompokmahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidakakan dengan mudahdilupakan oleh para siswanya.Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia mengeluarkantoples berukurangalon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya diatas meja.Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batuberukuran segenggam tangandan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu kedalamtoples.Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atasdan tidak ada batulagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya: "Apakah toples inisudah penuh?"Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"Kemudian dia berkata, "Benarkah?"Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil.Lalu dia memasukkankerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikitmengguncang- guncangkannya, sehingga kerikil itumendapat tempat diantaracelah-celah batu-batu itu.Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakahtoples ini sudahpenuh?"Kali ini para siswanya hanya tertegun,"Mungkinbelum!", salah satu darisiswanya menjawab."Bagus!" jawabnya.Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkansekeranjang pasir. Diamulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasiritu dengan mudahlangsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikildan bebatuan.Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudahpenuh?""Belum!" serentak para siswanya menjawab. Sekali lagidia berkata,"Bagus!"Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkanair ke dalamtoples,sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujungatas.Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kepadapara siswanya danbertanya:"Apakah maksud dari ilustrasi ini?"Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab,"Maksudnya, betapapunpenuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapatmenyisipkan jadwallain kedalamnya!""Bukan!", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya.Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa :JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMUMASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKANPERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLESTERSEBUT."Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkinanak-anakmu, suami/istrimu,orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu,kesehatanmu, mimpi-mimpimu.Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu.Ingatlah untuk selalumeletakkan batu-batu besar tersebut sebagai ygpertama, atau kamu tidak akanpernah punya waktu untuk memperhatikannya. Jika kamumendahulukan hal-halyang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanyamemenuhi hidupmu denganhal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untukmelakukan hal yangbesar dan berharga dalam hidupmu"."Sebab kehidupan tidak berjalan mundur, pun tidaktenggelam dimasa lampau"
Matur nuwun,
Matur nuwun,
Langganan:
Postingan (Atom)