November 03, 2009

CAKUPAN KESABARAN


Cakupan sabar ternyata sangat luas. Tak heran jika sabar bernilai setengah keimanan. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan, seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.
Tidak berputus asa saat menghadapi hal yang tidak mengenakan merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat serta sabar dalam berbuat taat. Mengapa demikian? Sabar menghadapi musibah sifatnya idhthirari alias tidak bisa dihindari. Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar. Tidak sabar pun musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar menjauhi maksiat dan melaksanaan taat, keduanya bersifat ikhtiari atau bisa dihindari. Di sini manusia "berkuasa" melakukan pilihan, bisa melakukan bisa pula tidak. Biasanya ini lebih sulit.
Secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.. Difirmankan, Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabb-nya (QS Ar Ra'd [13]: 22).
Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan, melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita harus "marah" misalnya, maka marahlah secara bijak serta diniatkan untuk mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan pemuasan hawa nafsu.
Dalam shalat dan sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa muthma'innah atau jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya(QS Al Fajr [89]: 27-28).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan pesan anda disini